A. Hipotesis dan Pertanyaan Penelitian
Dalam penelitian, ada
yang menyetujui bahwa penelitian sesungguhnya adalah mencari suatu hubungan di
antara variabel-variabel. Dalam penelitian kuantitatif, hal ini sangat
dibenarkan. Namun dalam penelitian kualitatif juga sangat dimungkinkan untuk
peneliti juga mencari hubungan diantara tiap variabel.
Oleh sebab itu, dalam
persiapan meneliti, peneliti kualitatif perlu untuk menyatakan hubungan
variabel tersebut. Hal ini dilakukan setelah peneliti menentukan masalah
penelitiannya, menetapkan variabel-variabel dalam masalah itu, menjelaskan
variabel-variabel tersebut, dan memberikan batasan operasional.
Dalam pernyataan
masalah, hubungan di antara variabel secara umum diduga dan dipertanyakan. Setelah
itu, barulah secara lebih khusus dan terarah menyatakan hubungan yang
diharapkan ada di antara variabel-variabel. Bagaimanapun juga, masalah yang
telah dinyatakan dan dijelaskan perlu dibingkai dalam satu atau lebih hipotesis
atau pertanyaan atau keduanya.
B.
Pemakaian
Hipotesis
Menurut Sproull (1988:
44), hipotesis adalah pernyataan deklaratif yang menunjukkan adanya kemungkinan
hubungan tertentu di antara dua atau lebih variabel yang dapat diuji (dalam
Subagyo, 2004: 192). Pernyataan ini yang kemudian akan dicari bukti-bukti untuk
menyangkal atau menerimanya sebagai kebenaran. Bila tersedia cukup informasi
mengenai hubungan di antara variabel penelitian maka peneliti dapat menggunakan
hipotesis untuk memperkirakan hubungan tersebut. namun informasi yang cukup
mengenai hubungan tersebut bukan satu-satunya alasan untuk memakai hipotesis.
Menurut Sproull (1998: 45), ada alasan-alasan lain yang menjadi perhatian
kenapa perlu untuk menggunakan hipotesis dalam penelitian, yakni:
- Peneliti
memakai sampel, bukan populasi. Itu berarti peneliti menyelidiki hanya
sebagian objek penelitian bukan seluruhnya.
- Peneliti
bersedia secara apriori memiliih tingkat signifikan. Itu berkaitan dengan
kesediaan peneliti dalam menentukan kriteria tingkat kemungkinan, menerima
atau menolak hipotesis nihil sebelum melakukan pengumpulan data.
- Peneliti
ingin memakai prosedur uji hipotesis. Itu berarti peneliti akan mencari
simpulan statistik mengenai semua objek penelitian berdasarkan data dari
bagian objek tersebut. (dalam Subagyo, 2004: 193).
Jika dalam meneliti,
peneliti merasa perlu untuk memakai hipotesis, maka ia harus menyatakan
hipotesis itu sesuai dengan format yang lazim; contohnya: “Tingginya
identifikasi anggota dalam Gereja mampu meningkatkan tingkat kelangsungan
keanggotaan Gereja”.
Locke, Spirduso, dan
Silverman (1993: 16) berpendapat bahwa ada tiga kriteria hipotesis yang baik,
yaitu: 1) bebas dari abiguitas (makna ganda), 2) menyatakan hubungan antara dua
variabel atau lebih, 3) menyiratkan uji empiris. Adapun kekeliruan yang harus
dihindari adalah membuat sebuah hipotesis yang berupa pernyataan kompleks
(hipotesis majemuk).
C.
Pengembangan
Hipotesis
Sebuah hipotesis
haruslah dikembangkan dari kajian kepustakaan yang telah dipelajari oleh
peneliti. Hipotesis yang baik tidak boleh merupakan argumen pribadi peneliti,
namun telah melalui proses menelaah seluruh kajian kepustakaan dan bukti-bukti
teori yang mendukungnya. Menurut Locke, Spirduso, dan Silverman (1993: 15), hipotesis
harus dikembangkan secara cermat sebab hipotesis langsung mempengaruhi
langkah-langkah penelitian selanjutnya, mulai dari rancangan penelitian sampai
dengan pelaporan penelitian (dalam Subayo, 2004: 194).
Dalam mengembangkan
hipotesis, peneliti perlu mempertimbangkan hubungan yang diharapkan di antara variabel-variabel
tersebut. untuk itu peneliti perlu mengembangkan pertanyaan; apakah satu
variabel disebabkan oleh variabel yang lain; apakah variabel-variabel itu
berkorelasi dalam cara tertentu, dan apakah perbuatan sekelompok orang lebih
baik dari perbuatan kelompok yang lain. Pertanyaan-pertanyaan tersebut
menyiratkan berbagai kemungkinan hubungan di antara tiap variabel. Menurut
Sproull (1988: 40) secara umum ada dua kelompok hubungan, yaitu: 1) hubungan
kausal atau hubungan sebab akibat. Jika variabel-variabel itu adalah X dan Y,
hubungan kausal dapat dinyatakan sebagai X menyebabkan Y; X menghasilkan Y;
jika terjadi X maka terjadi Y; Y adalah fungsi X; Y bergantung kepada X; atau Y
adalah akibat X. 2) Hubungan asosiatif atau hubungan keselarasan dan ketidak
selarasan. Jika X meningkat maka Y meningkat (hubungan positif); jika X
meningkat maka Y menurun (hubungan negatif); X secara positif berkaitan dengan
Y; X secara negatif berkaitan dengan Y; X berhubungan timbal balik dengan Y; X
berhubungan sejajar dengan Y (dalam Subagyo, 2004: 195).
Tidak semua penelitian
berupaya menemukan kedua macam hubungan sebagaimana telah dijelaskan. Peneliti
bisa juga hanya bermaksud melukiskan suatu variabel atau menyingkapkan hubungan
asosiatif, bukan bermaksud menemukan hubungan kausal. Bisa juga terjadi bahwa
peneliti tidak bisa mendapatkan cukup informasi untuk menetapkan kemungkinan
adanya hubungan tertentu di antara variabel penelitiannya atau belum tersedia
model konseptual untuk menetapkan hubungan di antara variabel sehingga
penelitian bersifat eksploratif.
D. Pemakaian
Pertanyaan Penelitian
Dalam meneliti,
peneliti tidak selalu dapat menggunakan hipotesis. Penelitian dengan pendekatan
induktif pasti tidak menggunakan hipotesis. Penelitian dengan pendekatan
naturalistik (penelitian lapangan, etnografis, dan ekologi) lebih merupakan
suatu proses penemuan, bukan uji hipotesis. Penelitian tersebut lebih disebut
dengan penelitian eksploratif. Penelitian dengan pendekatan eksploratif memakai
pertanyaan, yaitu pertanyaan mengenai apa yang ingin diketahui tentang
sebuah situasi yang tidak memuaskan,
seperti apakah hubungan antara….; apa yangterjadi bila…; dll…
Adapun alasan peneliti unutk menggunakan
pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut:
- Tidak cukup
tersedia informasi untuk merumuskan hipotesis
- Peneliti
menyelidiki populasi bukan sampel
- Peneliti
tidak bersedia menentukan dahulu suatu tingkat kemungkinan sebagai patokan
untuk menganggap hipotesis yang didukung data.
- Peneliti
tidak ingin memakai prosedur uji hipotesis
Adapun contoh pertanyaan penelitian:
“Apakah yang disukai dan tidak disukai
anggota jemaat dari gerejanya?”
“Seperti apakah hidup bagi orang-orang
kristen yang tinggal di lingkungan yang bukan kristen?”
E. Pengembangan
Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian
memiliki substansi (isi/ makna/watak sebenarnya dari sesuatu), yaitu mengenai
apa dan jenis kata tanya apa yang diajukan untuk substansi itu (Yin, 1984: 7,
dalam Subagyo, 2004: 197). Peneliti teologi dan keagamaan dapat juga
memanfaatkan jenis-jenis pertanyaan sosial. Kategorisasi pertanyaan penelitian
yang lebih sederhana adalah siapa, apa, di mana, bagaimana dan mengapa.
Kategorisasi ini dapat menjelaskan lebih, yakni:
- Pertanyaan
“Siapa”, “di mana”, “seberapa banyak” menunjuk pada penelitian deskriptif,
yaitu menggambarkan kekerapan atau keluasan munculnya gejala, kapan gejala
itu, prediktif untuk akibat atau hasil tertentu.
- Pertanyaan
“mengapa”, “bagaimana lebih bersifat penjelasan, tidak hanya berhubungan
dengan kekerapan munculnya gejala. Misalnya bagaimana sebuah gereja
menjadi mandiri secara finansial? Atau mengapa kehadiran anggota gereja
dalam kebaktian tidak meningkat meski jumlah anggota bertambah?
- Pertanyaan
apa menunjukkan ekplorasi, misalnya: apa saja cara-cara menjadikan Sekolah
Minggu menjadi efektif? Atau apakah yang dihasilkan sekolah minggu dengan
adanya pengelompokkan usia? Atau apakah yang menyebabkan seseorang tetap
menjadi anggota gereja?
No comments:
Post a Comment