Sunday, September 17, 2017

PERUMUSAN HIPOTESIS


A.    Hipotesis  dan Pertanyaan Penelitian
Dalam penelitian, ada yang menyetujui bahwa penelitian sesungguhnya adalah mencari suatu hubungan di antara variabel-variabel. Dalam penelitian kuantitatif, hal ini sangat dibenarkan. Namun dalam penelitian kualitatif juga sangat dimungkinkan untuk peneliti juga mencari hubungan diantara tiap variabel.
Oleh sebab itu, dalam persiapan meneliti, peneliti kualitatif perlu untuk menyatakan hubungan variabel tersebut. Hal ini dilakukan setelah peneliti menentukan masalah penelitiannya, menetapkan variabel-variabel dalam masalah itu, menjelaskan variabel-variabel tersebut, dan memberikan batasan operasional.
Dalam pernyataan masalah, hubungan di antara variabel secara umum diduga dan dipertanyakan. Setelah itu, barulah secara lebih khusus dan terarah menyatakan hubungan yang diharapkan ada di antara variabel-variabel. Bagaimanapun juga, masalah yang telah dinyatakan dan dijelaskan perlu dibingkai dalam satu atau lebih hipotesis atau pertanyaan atau keduanya.

B.     Pemakaian Hipotesis
Menurut Sproull (1988: 44), hipotesis adalah pernyataan deklaratif yang menunjukkan adanya kemungkinan hubungan tertentu di antara dua atau lebih variabel yang dapat diuji (dalam Subagyo, 2004: 192). Pernyataan ini yang kemudian akan dicari bukti-bukti untuk menyangkal atau menerimanya sebagai kebenaran. Bila tersedia cukup informasi mengenai hubungan di antara variabel penelitian maka peneliti dapat menggunakan hipotesis untuk memperkirakan hubungan tersebut. namun informasi yang cukup mengenai hubungan tersebut bukan satu-satunya alasan untuk memakai hipotesis. Menurut Sproull (1998: 45), ada alasan-alasan lain yang menjadi perhatian kenapa perlu untuk menggunakan hipotesis dalam penelitian, yakni:
  1. Peneliti memakai sampel, bukan populasi. Itu berarti peneliti menyelidiki hanya sebagian objek penelitian bukan seluruhnya.
  2. Peneliti bersedia secara apriori memiliih tingkat signifikan. Itu berkaitan dengan kesediaan peneliti dalam menentukan kriteria tingkat kemungkinan, menerima atau menolak hipotesis nihil sebelum melakukan pengumpulan data.
  3. Peneliti ingin memakai prosedur uji hipotesis. Itu berarti peneliti akan mencari simpulan statistik mengenai semua objek penelitian berdasarkan data dari bagian objek tersebut. (dalam Subagyo, 2004: 193).
Jika dalam meneliti, peneliti merasa perlu untuk memakai hipotesis, maka ia harus menyatakan hipotesis itu sesuai dengan format yang lazim; contohnya: “Tingginya identifikasi anggota dalam Gereja mampu meningkatkan tingkat kelangsungan keanggotaan Gereja”.
Locke, Spirduso, dan Silverman (1993: 16) berpendapat bahwa ada tiga kriteria hipotesis yang baik, yaitu: 1) bebas dari abiguitas (makna ganda), 2) menyatakan hubungan antara dua variabel atau lebih, 3) menyiratkan uji empiris. Adapun kekeliruan yang harus dihindari adalah membuat sebuah hipotesis yang berupa pernyataan kompleks (hipotesis majemuk).

C.    Pengembangan Hipotesis
Sebuah hipotesis haruslah dikembangkan dari kajian kepustakaan yang telah dipelajari oleh peneliti. Hipotesis yang baik tidak boleh merupakan argumen pribadi peneliti, namun telah melalui proses menelaah seluruh kajian kepustakaan dan bukti-bukti teori yang mendukungnya. Menurut Locke, Spirduso, dan Silverman (1993: 15), hipotesis harus dikembangkan secara cermat sebab hipotesis langsung mempengaruhi langkah-langkah penelitian selanjutnya, mulai dari rancangan penelitian sampai dengan pelaporan penelitian (dalam Subayo, 2004: 194).
Dalam mengembangkan hipotesis, peneliti perlu mempertimbangkan hubungan yang diharapkan di antara variabel-variabel tersebut. untuk itu peneliti perlu mengembangkan pertanyaan; apakah satu variabel disebabkan oleh variabel yang lain; apakah variabel-variabel itu berkorelasi dalam cara tertentu, dan apakah perbuatan sekelompok orang lebih baik dari perbuatan kelompok yang lain. Pertanyaan-pertanyaan tersebut menyiratkan berbagai kemungkinan hubungan di antara tiap variabel. Menurut Sproull (1988: 40) secara umum ada dua kelompok hubungan, yaitu: 1) hubungan kausal atau hubungan sebab akibat. Jika variabel-variabel itu adalah X dan Y, hubungan kausal dapat dinyatakan sebagai X menyebabkan Y; X menghasilkan Y; jika terjadi X maka terjadi Y; Y adalah fungsi X; Y bergantung kepada X; atau Y adalah akibat X. 2) Hubungan asosiatif atau hubungan keselarasan dan ketidak selarasan. Jika X meningkat maka Y meningkat (hubungan positif); jika X meningkat maka Y menurun (hubungan negatif); X secara positif berkaitan dengan Y; X secara negatif berkaitan dengan Y; X berhubungan timbal balik dengan Y; X berhubungan sejajar dengan Y (dalam Subagyo, 2004: 195).
Tidak semua penelitian berupaya menemukan kedua macam hubungan sebagaimana telah dijelaskan. Peneliti bisa juga hanya bermaksud melukiskan suatu variabel atau menyingkapkan hubungan asosiatif, bukan bermaksud menemukan hubungan kausal. Bisa juga terjadi bahwa peneliti tidak bisa mendapatkan cukup informasi untuk menetapkan kemungkinan adanya hubungan tertentu di antara variabel penelitiannya atau belum tersedia model konseptual untuk menetapkan hubungan di antara variabel sehingga penelitian bersifat eksploratif.

D.    Pemakaian Pertanyaan Penelitian
Dalam meneliti, peneliti tidak selalu dapat menggunakan hipotesis. Penelitian dengan pendekatan induktif pasti tidak menggunakan hipotesis. Penelitian dengan pendekatan naturalistik (penelitian lapangan, etnografis, dan ekologi) lebih merupakan suatu proses penemuan, bukan uji hipotesis. Penelitian tersebut lebih disebut dengan penelitian eksploratif. Penelitian dengan pendekatan eksploratif memakai pertanyaan, yaitu pertanyaan mengenai apa yang ingin diketahui tentang sebuah  situasi yang tidak memuaskan, seperti apakah hubungan antara….; apa yangterjadi bila…; dll…
Adapun alasan peneliti unutk menggunakan pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut:
  1. Tidak cukup tersedia informasi untuk merumuskan hipotesis
  2. Peneliti menyelidiki populasi bukan sampel
  3. Peneliti tidak bersedia menentukan dahulu suatu tingkat kemungkinan sebagai patokan untuk menganggap hipotesis yang didukung data.
  4. Peneliti tidak ingin memakai prosedur uji hipotesis
Adapun contoh pertanyaan penelitian:
“Apakah yang disukai dan tidak disukai anggota jemaat dari gerejanya?”
“Seperti apakah hidup bagi orang-orang kristen yang tinggal di lingkungan yang bukan kristen?”

E.     Pengembangan Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian memiliki substansi (isi/ makna/watak sebenarnya dari sesuatu), yaitu mengenai apa dan jenis kata tanya apa yang diajukan untuk substansi itu (Yin, 1984: 7, dalam Subagyo, 2004: 197). Peneliti teologi dan keagamaan dapat juga memanfaatkan jenis-jenis pertanyaan sosial. Kategorisasi pertanyaan penelitian yang lebih sederhana adalah siapa, apa, di mana, bagaimana dan mengapa. Kategorisasi ini dapat menjelaskan lebih, yakni:

  1. Pertanyaan “Siapa”, “di mana”, “seberapa banyak” menunjuk pada penelitian deskriptif, yaitu menggambarkan kekerapan atau keluasan munculnya gejala, kapan gejala itu, prediktif untuk akibat atau hasil tertentu.
  2. Pertanyaan “mengapa”, “bagaimana lebih bersifat penjelasan, tidak hanya berhubungan dengan kekerapan munculnya gejala. Misalnya bagaimana sebuah gereja menjadi mandiri secara finansial? Atau mengapa kehadiran anggota gereja dalam kebaktian tidak meningkat meski jumlah anggota bertambah?
  3. Pertanyaan apa menunjukkan ekplorasi, misalnya: apa saja cara-cara menjadikan Sekolah Minggu menjadi efektif? Atau apakah yang dihasilkan sekolah minggu dengan adanya pengelompokkan usia? Atau apakah yang menyebabkan seseorang tetap menjadi anggota gereja?

No comments:

Post a Comment